knowledge
MENU
SEARCH KNOWLEDGE
Saatnya brand B2B...

Saatnya brand B2B memperkuat eksistensi di social media

10 Oct  · 
4 min read
 · 
eye 3.991  
Social Media

knowledge\January2021\0ebda b2b brand lebih aktif di social media

Selama ini ada anggapan bahwa social media bukanlah platform yang efektif untuk komunikasi pemasaran brand B2B (Business-to-Business). Ini karena purchase decision dan customer journey brand B2B dinilai berbeda jauh dibandingkan dengan B2C (Business-to-Consumer). Selain itu, konten khas social media dengan kemampuannya menggugah emosi ini tidak cocok untuk audience B2B yang rasional.

 

Anggapan ini salah. Justru dengan mengabaikan social media, brand B2B bisa kehilangan relevansi dengan target audience. Apalagi di tengah situasi pandemi seperti ini dimana touchpoint fisik jauh berkurang.

Apa urgensi brand B2B harus ber-social media? Adalah para millennials yang kini semakin banyak mengisi posisi-posisi penting dalam perusahaan. Mereka kini punya suara dalam purchase decision produk dan jasa bagi perusahaan. Tak jarang yang mengisi posisi puncak sebagai pengambil keputusan bisnis.

 


Millennials: generasi baru buyer B2B

 

Mari kita tengok data LinkedIn. Platform yang dibeli Microsoft ini dipersepsikan sebagai social media untuk karir dan bisnis. Di Indonesia saat ini ada sekitar 17 juta pengguna LinkedIn. Hampir 95% berusia 35 tahun ke bawah (18-34 tahun).

Dalam rentang usia millennials, ada sekitar 9,3 juta orang berusia 25-24 tahun. Penelusuran lebih dalam menemukan ada sekitar 1,5 juta di antaranya menduduki posisi supervisor ke atas. Bahkan ada sekitar 160,000 orang dalam rentang usia tersebut yang bertitel “Director.”

 

Social Media Millennials di LinkedIn

 

Pakar strategi konsumen Eric Almquist dari Bain & Company, dalam artikelnya di Harvard Business Review menuliskan bahwa pada digital native ini telah mengubah cara pembelian B2B.

Millennials adalah digital natives. Lahir dan besar di era teknologi digital, kelompok usia ini sudah familiar dengan komputer dan Internet sejak usia dini. Mereka sudah terbiasa mencari informasi secara mandiri, termasuk melakukan riset produk sebelum memutuskan membelinya. Googling adalah hal biasa ketika meriset produk.

Pola inilah yang juga mereka bawa ketika meriset vendor pemasok produk dan jasa B2B. Ketika melakukan riset, ada lebih banyak informasi yang dipertimbangkan millennials. Tidak hanya informasi terkait produk, jasa dan latar belakang perusahaan, tetapi juga hal-hal yang sifatnya subjektif.

Hal-hal subjektif ini antara lain bagaimana upaya calon vendor melestarikan lingkungan, peduli pada masalah-masalah sosial dan aktivitas filantropis lainnya. Berbagai hal tersebut, menurut Almquist, adalah “nilai-nilai” yang sifatnya inspirasional dari calon vendor. Survei dari konsultan pemasaran Merit mengungkapkan, sebanyak 80% millennials menyatakan nilai-nilai inspirasional itu penting.

Bagaimana brand B2B menunjukkan nilai-nilai inspirasional tersebut? Disinilah peran social media. Bagi brand B2C, social media sudah lama dikenal sebagai platform yang efektif untuk menceritakan nilai-nilai inspirasional. Kini saatnya brand B2B juga memberdayakan kekuatan social media tersebut.

Selain kemampuan menginspirasi target audience, social media juga semakin penting untuk membangun kredibilitas. Ciri khas millennials yang lain adalah mereka terbiasa lebih mempercayai ulasan dan rekomendasi jaringan pertemanan dalam social media ketimbang sumber dari brand.

 


Mendukung Search Engine Marketing (SEM)

 

Search engine adalah tools yang lazim digunakan dalam proses pembelian B2B. Riset Google bahkan menyatakan bahwa search engine merupakan sumber informasi nomor satu untuk riset B2B. Bahkan, sebanyak 90% dari total pencari dengan latar belakang B2B menggunakan search hanya untuk keperluan purchasing.

Keyword apa yang mereka cari, untuk bisa sampai menemukan dan memilih brand B2B? Masih menurut data Google, sebanyak 71% melakukan pencarian generik, seperti kategori produk, sub-kategori atau masalah yang mereka hadapi. Jadi para pembeli B2B tidak langsung melakukan pencarian dengan keyword brand.

Pencarian generik ini berperan penting dalam tahap awal path to purchase. Secara umum, pembeli B2B yang melakukan riset melakukan 12 kali pencarian sebelum berinteraksi dengan website brand.

Seperti kita ketahui persaingan di pencarian keyword generik lebih ketat daripada brand. Apalagi jika kualitas konten dan relatif sama. Disinilah peran social media, yakni untuk membangun awareness para pembeli B2B sehingga mereka punya preferensi sejak awal melakukan riset di search engine.

Kekuatan platform social media adalah pada audience data yang bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan akurasi dari kampanye awareness. Melalui audience data, setiap impression pun tidak akan sia-sia karena pesan kita sampai kepada target audience yang diinginkan.

Kampanye awareness yang berhasil akan meningkatkan volume pencarian keyword brand. Volume pencarian yang semakin besar berpotensi meningkatkan trafik ke website. Ditambah dengan konten yang berkualitas dan relevan, bounce rate akan rendah dan kinerja SEM-pun menjadi lebih baik.

Simak artikel Redcomm Knowledge tentang bagaimana mengukur efektivitas kampanye brand awareness.

 

 

Buying Process B2B

 

Ada mitos dalam B2B marketing yang menganggap bahwa buying process berlangsung secara rasional dan logis. Tidak ada ruang bagi faktor emosional untuk bisa mempengaruhi purchase decision para pihak yang terlibat. Seperti kita ketahui, buying process ini melibatkan banyak pihak, mulai dari purchasing committee, konsultan eksternal dan procurement internal.

Namun survei yang dilakukan Google, CEB Marketing Leadership Council dan firma riset Motista membuktikan bahwa anggapan itu salah. Faktor emosional pada brand B2B jauh lebih besar dibandingkan B2C. Dari seratus brand B2C yang dipelajari oleh Motista, kebanyakan memiliki koneksi emosional hanya dengan 10% sampai 40% dari konsumennya.

Di lain pihak, dari sembilan brand B2B dalam studi tersebut, tujuh di antaranya memiliki koneksi emosional dengan lebih dari 50% konsumennya. Secara umum, pelanggan brand B2B lebih terikat secara emosional dengan para vendor dan penyedia layanan mereka, ketimbang konsumen B2C.

Sekilas temuan ini mengejutkan. Namun sebenarnya masuk akal bahwa koneksi emosional dengan pelanggan B2B lebih tinggi. Ketika konsumen individual membuat pembelian yang salah, taruhannya relatif lebih rendah. Solusi terbaik, produknya masih bisa dikembalikan kepada penjual.

Tapi pada pembelian skala bisnis, faktor risiko bisa jadi sangat besar. Sebagai contoh, kesalahan dalam membeli sistem teknologi informasi seharga jutaan dolar bisa berujung pada kerugian besar bagi perusahaan. Bahkan kesalahan seperti ini bisa berakibat hilangnya pekerjaan. Wajar jika pelanggan bisnis membutuhkan koneksi emosional supaya lebih percaya diri untuk mengatasi faktor risiko tersebut.

 

 

Emotional Storytelling

 

Sekali lagi, social media adalah platform yang ampuh untuk membangun koneksi emosional dengan cara storytelling. Tentu saja kita tidak bisa mengaplikasikan begitu saja strategi social media B2C untuk brand B2B. Hal ini terutama karena siklus pembelian brand B2B jauh lebih panjang sehingga kita perlu menyentuh emosi yang tepat.

Humor, drama dan percintaan yang biasanya manjur untuk brand B2C tidak relevan bagi brand B2B. Namun emosi yang bisa membangkitkan rasa percaya, menunjukkan kehandalan, kredibilitas dan rasa kemitraan lebih cocok untuk membangun brand B2B.

Satu hal yang perlu diperhatikan ketika B2B storytelling yang menggunakan faktor emosional: kita harus tahu kadar yang tepat. Jika berlebihan, ada risiko brand B2B dianggap manipulatif. Hal ini akan menggerus kepercayaan pembeli B2B.

Pendekatan yang baik adalah faktor emosional ini diposisikan sebagai pendukung dari faktor logis dan rasional. Kita harus bisa menunjukkan secara rasional problem, solusi dan benefit. Baru setelah itu kita membangun emotional storytelling.

Ada banyak cara untuk membangun emotional storytelling di social media. Perusahaan teknologi Salesforce misalnya, dikenal sering mengangkat cerita-cerita tentang karyawannya via Twitter dan Facebook.

Di Instagram yang mengedepankan unsur visual, Salesforce menghadirkan karakter kartun yang lucu. Pendekatan humanis dan tokoh kartun ini dipakai untuk menyeimbangkan kesan produk teknologi yang keras, membosankan dan serius.

 

B2B social media salesforce

 

Setiap platform social media memiliki karakteristiknya masing-masing. Strategi social media brand B2B di Facebook, Instagram, Twitter dan LinkedIn harus bisa menyesuaikan dengan karakter tersebut.

Bagaimana kita membangun strategi social media untuk setiap platform? Perlukan brand B2B hadir di semua platform? Apakah Tiktok platform yang tepat?

Simak terus Redcomm Knowledges.

SUBSCRIBE NOW

RELATED TOPICS:

DISCOVER MORE OF WHAT MATTERS TO YOU

SUBSCRIBE NEWSLETTER